Sabtu, 26 Februari 2011
Jumat, 25 Februari 2011
Kembali larut dalam pagi
Baru beberapa inci kupahat kisah
Tentang Purnama yang terjaga
menemani kesepian
dengan pendarnya
Pagi terlalu dini tlah mati
Senyap menjalar
dari ujung jalan setapak lengang
berkabut
ke mata menembus kornea jiwa
Butiran angin menunduk pada embun
mengharap mentari esok menuliskan
sulur-sulur cerita kan tumbuh liar
memugar kembali dhukha
Dan langkah kaki kemabukan…
Bersama sebuah mimpi
Tentang Purnama setiap hati
Jalan setapak samping jembatan, 23022011
00;58
Hanyalah seserpih angin yang mulai menari
menapaki malam
tanpa debur ombak
tanpa sepoi angin gunung
hanyalah seserpih angin yang mulai menyanyi
dalam rerimbun do'a para pecinta malam
tanpa ritmis
tanpa puja
tanpa sederet wirid yang menarikan hati
hanyalah seserpih angin yang mulai menyapa
menatap jauh pada kerlip bintang
melelakan angan pada hamparan malam
menyusur setapak jalan
hanyalah seserpih angin yang mulai merindu
hanya dalam malam aku kan mampu menatapmu
bintangku
pada bintang, 23022011
00;07
Diriku menyelinap dalam remang jiwaku,
”lalu terdiam”
- kemudian berjalan-
menatap segala atas alam ini
Dari balik kesunyian mata yang terlempar jauh,
Aku dengar desis suara tangis.
Pilu- Sepilu pecinta ditinggal sang kekasih
Tapi dia bukan pecinta, hanya rintihan
teramat sakit dan,
kesedihan...!
Diriku seakan bercakap dengan suara
Yang tiba-tiba kukenali dari serentet cerita
Pusara hati yang rindu
Akan yang terselubung...?
namun, tetes embun tak kunjung turun
kengarai hidup dalam dada
Sekitarku senantiasa dan masih
Bertasbih,
Hanya aku yang tak bisa..
Aku masih kuat dengan anasirku
hanya aku tak sanggup
dan terlalu rentan dengan Cinta(Mu)
Aku terus berharap
Meski dalam takut terdalam
Murkamu...
2904’10
Setiap waktu pencarian terus bergulir, bagai rintik hujan sepi malam. Kuterlahir dengan pengertian. Pengertian yang mengerti bahwa arti dari pengertian tak ku mengerti, hingga kini dan mungkin esok hari.
Bila tiada hati yang terbuka tuk mau mengerti kejujuran nurani, tantang arti dari pengertian ini, mungkinkah dua kejujuran nurani kan mampu mendamaikan hati?
Aku ragu!
Saat satu kejujuran dari dirimu begitu hangat dan mungkin atau pasti sejuk, seharusnya. Tapi satu kejujuan lain membusuk dalam remuk hancur seperti pesakitan tak kunjung bertandang pergi.
Lalu seperti itukah paradox bernama kejujuran ? Atau seharusnya kubohongi kejujuran hati kecil agar kejujuranmu tetap sebagai ketenanganmu, tetapi ? Apakah mungkin bila kubohongi hatiku, aku kan damai pula dirimu?
Sepertinya agar tiada luka yang terus menjelma sebagai dogma kekuatan jiwa, maka seharusnya kita bicara di musim semi dari hati kehati, atau apakah kau kan terus memilih dua kejujuran terus membuat luka-luka baru hingga tubuh dan jiwa kita di penuhi luka yang takkan terseka, dan membusuk ?
Seperti saat kata pertama, aku takjub! Itulah kejujuran, tapi senantiasakah baasmu pasti kejujuran atau kebohongan yang membuat aku berharga?
Lalu pengertianku dari semua ucapmu yang kuyakini ketika kau memberiku Kristal batu rubi adalah kejujuran, apakah sejujurnya kebohongan? Dan ketika aku berkata bahwa, “Aku jujur dari hatiku” adalah kejujuran? Apa mungkin kata “Jujur” hanyalah sebagai perlambang tuk meyakinkan hati diantara dua keyakinan?
Tapi mengapa selalu ada yang merasa terpaksa tuk jujur? Atau haruskah kita sedikit membohongi diri agar kejujuran disalah satu hati kita tidak terlalu menyesakkan dada. Atau…? Aku harus berbohong untuk diriku agar kejujuran dilangitmu tak terbalas rengsa pedih, atau …? Selayaknya kau bohongi dirimu? Tapi tak mungkin, kita tak mungkin berbohong untuk di kita sendiri,
Tapi mungkin saja!
Apa benar?
Kalau kita saling berbohong, aku yakin kita tak pernah damaikan hati.
Lalu…?
Apakah kita harus selalu jujur??
Entahlah!
Kalau kita jujur, kita hancur karena pesakitan dari kejujuran sebrang.
Lalu bagaimana??
Mungkin kita kan berbohong sedetik waktu sampai ada hati yang tak pernah luka.
Mungkin kita kan berbohong sejenak hingga kita mengulum cita.
Mungkin kita kan berbohong sesaat sampai tiada kepedihan.
Mungkin kita kan berbohong sementara, sampai waktu member penyadaran untuk kebohongan kita, setidaknya sesaat penat, karena meninggalkan jujurku dan jujurmu.
Tapi…?
Jangan kau tanyakan! Bagaimana, atau dimana, dan mengapa, apalagi apa pengungkapan kejujuran hati ini,
Sampai kau mengerti.
Seperti inilah jiwa dalam dada
Seperti inilah jiwa yang luka
Seperti inilah jiwa yang bahagia
Sampai kau pahami.
Inilah jiwa yang tercipta
Inilah jiwa yang tertera
Dan inilah jiwa-jiwa yang patah sayapnya.
Sehingga kau dan kita, semua terlebih aku, yang berpeluk pilu tiada pernah ragu mengungkap kejujuran hati, dan berbalas kejujuran hati tanpa kepedihan-kejujuran yang mendaam-kejujuran yang menentramkan-kejujuran yang melelapkan-kejujuran yang membawa kepada mi’raj keharibaan kata hati-kejujuran lakana sinar putih diufuk tertinggi dari rasa tulus,
Bagai buih anugrah yang mengembang memenuhi jiw-jiwa dengan putih biasan mentari berkeratap.
Dan juga,
Tetapi,
Bahkan,
Atau,
Mungkin,
Jangan sekali-kali kau tanyakan keabadian pegungkapan kata hati, kekekalan sinar putih tertinggi, kedamaian yang berpusara.
Apalagi tentang cintaku. Tentang kejujuran dilepas lautan hati, tentang kematian hati, tentang harapan.
Karena seperti apapun wujudnya, DIA tlah … atau… mungki akan… dan pernah… bahkan tetap menjadi bagian atau sepenuhnya dalam diri, seutuhnya dalam arti hakiki.
Dan diam adalah diam dalam ironis kejujuran.
Kejujuran adalah api kearifan
Amarah adalah aura suci yang terbakar
Tapi hati adalah hati
Tak pernah mampu bohongi nurani
Tak membohongi cinta ini.
22.21
Dan…
Riak air disana semakin meritmiskan
Symfoni kesendirian dimalam ini
Adakah sebait puisi atau lelagu
Tercipta dari nafas halusmu?
Bulan sabit diwajahmu pertanda senyum
Rekah tlah bertebaran disudut-sudut angin.
Melodi-melodi berkisah tentang turunnya hujan
Dipandang harapan tlah terkabar
Gigil diriku mengurai keputusan
Gigil diriku tanpa firasat
Telanjang dari terhunjamnya pilihan
Sedang mawar-mawar terus mekar
Memenuhi impian melingkar
Adakah salam sapa terhias nirvana?
Langit…
Malam ini demam
Keringatnya bercucur derai
Aku semakin menggigil merangkai cahaya disana
Atau sekedar menumbuhkan melati ditaman
Adakah senyumam terias dirahim kelopak bibirmu?
00;07
28-11-08
Jiwaku membawamu dalam do’a, Alina!
Sesekali kuhirup isakan tangisku
Dadaku semakin remuk
Karena angin pagi tak menyuguhi
Mentari
Kesejukan terdamba dipalung jiwa tak terberi
Bisikan senja memberi kabar
Hidupmu Alin, suri dalam dirimu puri
Meski bukanlah aku terucap di dzikirmu
Dan helai munajatmu
Aku tlah cukup dengan gelakmu
Ku tlah cukup dengan senda gurau cedahmu
Ku bahagia dengan sendiriku
Bukan pucat wajahmu
Alina
Meski engkau tak lintaskan harap akan terciptanya
Lukisan ini
Aku tlah cukup bila engkau tahu
Risau jiwaku terhunjam didada
Alina
Kutahu dera didirimu
Takut menatap matamu
Jika engkau kan semakin tersiksa
Lalu Alina…
Angin putih membelaiku mencipta
Kata meski tak pernah sempurna
Tersenyumlah Alina!
Tersenyumlah seanggun Purnama
Tersenyumlah secantik Venus dan Amor
Tersenyumlah
07;15
27 nopember 2008
Salam manis dari bbir hari
mendesahkan nafas sapa tak berjumpa
menjabat hati
melingkarkan rendaan kangen pada pelupuk mata
salam hangat sang hari menyapamu tanpa jumpa
kaefal khal fi qolbika?
resahku mendesah ragu
namun raja'ku menanam sinar dari mata-MU
yang menghunjamku dalam
salam indah sang hari tanpa jumpa menyapamu
kaefal khal fi qolbika?
masih angin membawa kabar tentang do'a
tentang taman jiwa yang terpenuhi bunga-bunga nektar
bersama saga sang senja
salam damai sang hari menyapa tanpa jumpa
kaefal khal fi qolbika?
kalibeber, 13 februari 2011
13;36
Jumat, 11 Februari 2011
Siapakah yang mengerti gundah
Bila tanpa lahirnya keluh kesah?
Siapakah yang tahu rindu
Bila tanpa ucap lagu bibir membiru?
Siapakah yang paham
Saat tetes hujan menyentuh tanah
Saat sinar menembus pagar
Atau saat suatu alam seakan gila
Kukira kau tahu
Ternyata kau tertawa bahagia
Dalam tak acuhmu
Saat gila jiwa sebab cintamu
14-11-10