“Buset dah! Dingin banget di sini, ya, Mas!?”. itulah kira-kira kata yang tepat di sandang bagi dieng kita, yang dikenal sebagai kota tertua di jawa.yach kita cie cuma tahu sebatas itu, pun dari kita cuma main disana, tapi ada yang menarik lo sebenernya klo kita mau membaca sejarah...........
pengen tahu mesti kalo temen emang salah satu dari orang maniak sejarah.
simak ja ne dibawah dari apa yang saya coba tulis, itung-itung ikut partisipasi melestarikan budaya kita,hehehehehe..............
Dieng ????????????
Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata bahasa Sunda Kuna: "di" yang berarti "tempat" atau "gunung" dan "Hyang" yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Nama Dieng berasal dari bahasa Sunda karena diperkirakan pada masa pra-Medang sekitar tahun 600 Masehi daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.
Dataran tinggi Dieng (DTD) adalah dataran dengan aktivitas vulkanik di bawah permukaannya, seperti Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Sesungguhnya ia adalah kaldera dengan gunung-gunung di sekitarnya sebagai tepinya. Terdapat banyak kawah sebagai tempat keluarnya gas, uap air dan berbagai material vulkanik lainnya. Keadaan ini sangat berbahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah itu, terbukti dengan adanya bencana letusan gas Kawah Sinila 1979. Tidak hanya gas beracun, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi, letusan lumpur, tanah longsor dan banjir.
Kawah-kawah
Berikut adalah kawah-kawah di DTD:
- Candradimuka
- Sibanteng
- Siglagah
- Sikendang, berpotensi gas beracun
- Sikidang
- Sileri
- Sinila, berpotensi gas beracun
- Timbang, berpotensi gas beracun
Kawah Sibanteng
Sibanteng terletak di Desa Dieng Kulon. Kawah ini pernah meletus freatik dua pada bulan Januari 2009 (15/1)[1], menyebabkan kawasan wisata Dieng harus ditutup beberapa hari untuk mengantisipasi terjadinya bencana keracunan gas. Letusan lumpurnya terdengar hingga 2km, merusak hutan milik Perhutani di sekitarnya, dan menyebabkan longsor yang membendung Kali Putih, anak Sungai Serayu.
Sebelumnya Kawah Sibanteng meletus pada bulan Juli 2003.
Kawah Sikidang
Kawah Sikidang adalah kawah di DTD yang paling populer dikunjungi wisatawan karena paling mudah dicapai. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas.
Kawah Sileri
Sileri adalah kawah yang paling aktif dan pernah meletus beberapa kali (catatan yang ada 1944, 1964, 1984, dan Juli 2003). Pada aktivitas freatik terakhir (26 September 2009) muncul tiga katup kawah yang baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter.[2]
Kawah Sinila
Sinila terletak di Desa Dieng Wetan. Kawah Sinila pernah meletus pada pagi hari tahun 1979,[3] tepatnya 20 Februari 1979. Gempa yang ditimbulkan membuat warga berlarian ke luar rumah, namun kemudian terperangkap gas yang keluar dari Kawah Timbang akibat terpicu letusan Sinila.[4] Sejumlah warga (149 jiwa) dan ternak tewas keracunan gas karbondioksida yang terlepas dan menyebar ke wilayah pemukiman.
Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan ( telaga warna).
telaga warna
Dahulu kala di kawasan puncak tepatnya di lereng Gunung Lemo kompleks Pegunungan Mega Mendung terdapat sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Kutatanggeuhan, nama kerajaan ini berasal dari kata “Kuta” yang berarti tempat dan “Tanggeuhan” yang berarti andalan. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Kemuning Kewangi.
Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Swarnalaya. Beliau didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan bersifat keibuan, bernama Ratu Purbamanah.
Dalam masa kepemimpinan Prabu Swarnalaya, kerajaan ini mengalami masa keemasannya, negeri ini terkenal damai, subur, makmur, dan tentram. Tak ada satupun keluarga yang kekurangan sandang, pangan maupun papan. Walaupun demikian nampaknya Sang Prabu dan Permaisuri belum merasa bahagia. Mengapa?
Karena setelah bertahun-tahun membina hubungan suami istri merek belum juga dikarunia seorang putra. Berbagai upaya telah dilakukan seperti meminum ramuan tradisional, konsultasi dengan dukun beranak, dan berbagai usaha lainnya namun tidak berhasil.
Hingga suatu hari, Sang Prabu memutuskan untuk bertapa (semedi) memohon bantuan Yang Maha Kuasa. Setelah sekian lama beliau bersemedi dengan khusuk, maka pada suatu hari beliau mendengar suara gaib yang berkata “Wahai cucuku Prabu Swarnalaya, apakah yang engkau inginkan? Mintalah kepada Tuhan-Mu!”
“Hamba ingin sekali memeliki seorang anak”.
“Kalau begitu pulanglah”, jawab suara itu kemudian.
Tidak lama kemudian seteleh peristiwa itu terjadi, Sang Permaisuri dinyatakan hamil. Sembilan bulan sepuluh hari kemudian lahirlah seorang Puteri yang diberi nama Nyi Mas Gilang Rukmini, ada pula yang menyebutnya Nyi Mas Ratu Dewi Kencana Wungu Kuncung Biru.
Kehadiran Sang Puteri disambut meriah dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam sebagai ungkapan kegembiraan yang tidak terhingga. Berbagai hadiah dan bingkisan berdatangan dari berbagai kerajaan termasuk dari warga Kerajaan Kutatanggeuhan sendiri.
Semakin dewasa Sang Puteri semakin menampakkan kecantikannya. Dan sebagai puteri tunggal, tak heran bila kedua orang tuanya beserta warga kerajaannya sangat memanjakannya.
Menginjak usia ke-17, kecantikan Sang Puteri tidak ada duanya di seluruh tanah Pasundan. Dalam perayaan hari ulang tahunnya yang ke-17, Puteri Gilang Rukmii menginginkan agar tiap helai rambutnya dihiasi emas permata. Mendengar keinginan Sang Puteri, seluruh warga dari berbagai pelosok negeri ingin menyumbangkan sebagian hartanya agar keinginan Sang Puteri dapat terwujud.
Karena kearifannya, maka Sang Prabu menyarankan agar harta-harta sumbangan tadi disimpan dan dipergunakan untuk kepentingan umum. Untuk memenuhi keinginan Sang Puteri, beliau hanya mempergunakan sebagian harta tersebut untuk dijadikan sebuah perhiasan yang indah.
Perhiasan tersebut dibuat oleh seorang Mpu yang sangat ahli. Dengan kemampuannya Sang Mpu membuat sebuah kalung yang sangat indah.
Ketika saatnya tiba, datanglah berbondong-bondong warga kerajaan Kutatanggeuhan untuk menyaksikan acara ulang tahun Sang Puteri. Pada acara itu Sang Prabu secara langsung menyerahkan hadiah ulang tahun berupa kalung buatan Mpu kepada Puteri diiringi sorak-sorai gembira warga.
Tapi apa yang terjadi..??
Setelah kalung diberikan, Sang Puteri bukannya menerima dengan senang hati, malah melemparkannya hingga putus dan bercerai-berai.
Menyaksikan peristiwa tersebut semua hadirin membisu dan diam terpaku. Dalam kebisuan dan keheningan itu terdengarlah tangisan Permaisuri dan seluruh warga kerajaan terutama kaum isteri yang tak henti-henti. Mereka bertanya-tanya mengapa Puteri tidak mau menerima hadiah tersebut?
Pada saat yang bersamaan timbul suatu keajaiban, bumi bergoncang dan dari permukaan tanah keluarlah air yang semakin lama semakin membesar sehingga membentuk sebuah danau/telaga. Danau itu semakin lama semakin meluas sehingga menenggelamkan Kerajaan Kutatanggeuhan beserta segala isinya. Dan dari dasar telaga memancarkan cahaya berwarna-warni yang diduga berasal dari kalung yang telah bercerai berai. Karena itulah, danau tersebut dinamakan telaga warna
Secara geologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena ditemukan di air-air panas di dekat kawah beberapa spesies bakteri termofilik ("suka panas") yang dapat dipakai untuk menyingkap kehidupan awal di bumi.
Prosesi Kendit yang dilaksanakan penduduk Dieng Kulon, Batur, Banjarnegra 14 Januari lalu menunjukkan kesadaran warga atas kekayaan budaya yang diwariskan leluhurnya (Kompas, 15/1). Mereka sadar bahwa Dieng telah lama dikenal sebagai negeri pewayangan yang menyajikan tidak sekedar mitos namun fakta sejarah. Candi-candi di Dieng menjadi bukti otentik peradaban kerajaan nusantara di sana.
Fakta sejarah yang berserakan di Dieng menyajikan banyak cerita, baik mayor maupun minor. Tidak hanya dari candi dan artefak, kisah juga menyertai kawah, sumur, dan danau-danau di sana, menyajikan aura mistis yang tidak habis terkikis.
Sayangnya, tidak semua cerita baik sejarah maupun mitos dapat dibaca pengunjung.
Minimnya sumber literer yang menyertai wisata sejarah di sana membuat objek wisata Dieng bisu. Kisahnya yang sohor tentang para dewa, tokoh wayang, hingga pembesar agama Hindu seperti tersembunyi di balik tumpukan batu.
Cobalah berkunjung ke komplek candi Arjuna yang menjadi point of view situs sejarah Dieng. Ada lima candi berjejer dengan rapi di sana. Jarak antarcandi persis 5 meter, menghadap kea rah timur. Meski keindahan fisiknya dapat dinikmati, sejarah seputar pembangunan candi tersebut tidak terbaca. Batu-batu tua itu seperti sombong enggan menceritakan kisah-kisah masa lalu yang menyertainya.
Tidak jauh dari situ, ada kawah Sikidang yang menyajikan pemandangan geologis luar biasa. Di sana letupan kawah-kawah aktif masih terdengar, sahut menyahut dari kawah satu ke kawah lain. Konon, letupan-letupan tersebut melompat-lompat seperti kijang sehingga diberi nama kawah Sikidang. Di kawah yang hingga kini masih aktif itu juga tidak ditemukan naskah, misalnya telaah fenomena geologi, cerita rakyat, atau mitos seputar suara melengking yang sering didengar penduduk ketika letupan besar terjadi.
selain itu ada banyak lagi temen, diantaranya:
Puncak-puncak
- Gunung Prahu (2.565 m)
- Gunung Pakuwaja (2.395 m)
- Gunung Sikunir (2.263 m), tempat wisata, dekat Sembungan
Danau vulkanik
- Telaga Cebon, dekat desa wisata Sembungan
- Telaga Merdada
- Telaga Pengilon
- Telaga Dringo
- Telaga Nila
selain diatas masih ada lagi lho... yakni Sumur JalaTunda, ini kisahnya teman!!!!
Dua kisah
Sebagai situs sejarah sekaligus negeri pewayangan Dieng menyimpan dua kisah, yakni cerita sejarah dan mitos. Cerita sejarah bisa berupa cerita proses pembangunan candi sekaligus tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembangunanannya. Ada empat kelompok candi dengan total 8 candi, yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi yang pembangunannya tentu menyisakan kisah panjang.
Para arkeolog yakin komunitas Hindu di dataran tinggi Dieng adalah awal lahirnya Dinasti Syailendra Mataram Kuno yang pada masa kejayaannya memang banyak membangun candi. Candi tersebut dibangun sebagai tempat peribadatan sekaligus tetenger daerah kekuasaan.
Dari prasasti batu yang ditemukan di Dieng ada angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi diketahui bahwa tempat suci Agama Hindu tersebut digunakan kurang lebih 4 abad. Dari sisi arsitektur candi-candi di sana agak berbeda dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela.
Selain fakta sejarah, Dieng juga menyajikan cerita minor (cerita kecil) mengenai kehidupan masyarakat di sana. Selama ini kisah-kisah ini juga tidak tersampaikan sebagai daya tarik wisata. Mitos-mitos yang berkembang di sana, meskipun banyak dan beragam, hanya beredar dari mulut ke mulut.
Masyarakat setempat percaya Dieng adalah tempat misterius tempat bersemayam arwah para leluhur sehingga dianggap suci. Dieng sendiri berasal dari kata Dihyang yang artinya tempat arwah para leluhur. Kepercayaan tersebut melahirkan berbagai cerita mistis yang menyelimuti tempat-tempat di sana.
Di Sumur Jalatunda misalnya, muncul kepercayaan orang yang mampu melemparkan batu dari tepi sumur hingga dinding sumur di seberangnya akan terkabul harapannya. Lepas dari kebenaran cerita tersebut, mitos Sumur Jalatunda telah menantang orang dari berbagai daerah untuk mencoba. Mereka tertantang untuk mencoba karena nyatanya tidak semua orang bisa melempar kerikil hingga seberang.
Katalog wisata
Sayangnya, mitos Sumur Jalatunda pun hanya diketahui segelintir orang. Penulis tidak pernah mendapati buku atau catalog wisata yang menjelaskan asal mula kepercayaan ini. Apakah kepercayaan ini sengaja dibangun penduduk sebagai pranata sosial atau dulu pernah terjadi keajaiban seperti yang terjadi pada batu bertuah Ponari? Cerita yang hanya ditularkan secara lisan dikhawatirkan lenyap karena tidak terdokumentasikan.
Kondisi tersebut menyebabkan pengunjung tidak bisa mendapat gambaran utuh tentang kondisi Dieng. Pengunjung hanya diajak menikmati keindahan alam dan fisik bangunan sejarah tanpa tahu kisah-kisah besar yang melingkupinya. Karena itulah, dalam waktu dekat pemerintah setempat perlu melakukan pelacakan kembali riwayat dan berbagai mitos di Dieng untuk direkam dalam bentuk tulisan. Bukan hanya sebagai daya tarik wisata catatan sejarah juga diperlukan sebagai pepeling masyarakat atas leluhurnya.
dach tahu kan temen, moga aja dapat bermanfaat buat temen- temen semua...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar