Spanyol, Mutiara Islam yang Hilang |
Ramadhan 92 H, atau bertepatan dengan tahun 711 M, Thariq bin Ziyad dan pasukannya merapat di pantai Spanyol, dengan membawa misi untuk menyebarkan dakwah Islam. Sayang, Raja Roderick dan pasukannya menolak, dan bahkan mengobarkan peperangan. Peperangan itu sebenarnya bermula dari pertikaian antara sesama Kristen Spanyol. Raja Roderick yang berkuasa saat itu, memaksakan keyakinan Trinitas Kristen yang dianutnya kepada umat Nasrani Aria. Berbeda dengan para pendukung Roderick yang meyakini Nabi Isa sebagai Yesus, yaitu Allah Bapak, Anak Tuhan, dan Ruh Kudus, kaum Nasrani Aria meyakini Nabi Isa semata sebagai utusan Allah. Pemaksaan keyakinan Trinitas oleh Raja Roderick ini menimbulkan penindasan di kalangan Nasrani Aria. Lantas, pimpinan mereka meminta bantuan kepada Pasukan Thariq bin Ziyad yang memang sudah merapat di Spanyol dalam misi dakwah dari khalifah. Panglima Thariq menerima permintaan pemimpin Nasrani Aria. Itu sebabnya, dalam sebuah pidatonya sesaat sebelum melakukan pertempuran dengan pasukan Raja Roderick, Thariq bin Ziyad memerintahkan pembakaran kapal-kapal yang telah membawa seluruh awak pasukannya dari Afrika, kecuali beberapa pasukan kecil yang diminta pulang untuk meminta bantuan kepada khalifah. Pidato ‘kontroversial’ itu karuan aja membuat pasukannya keheranan. Namun beliau mengatakan, “Di belakang kita ada lautan luas, di hadapan kita pasukan musuh. Jadi, kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan; menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa (syahid)”. Peristiwa di tahun 711 M itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol. Pasukan Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik. Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah al-Walid dari Bani Umayah. Thariq mencatat sukses. Ia mengalahkan pasukan Raja Roderick di Bakkah. Setelah itu ia maju untuk merebut kota-kota seperti Cordova, Granada dan Toledo yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Gothik. Ketika merebut Toledo, Thariq diperkuat dengan 5.000 orang tentara tambahan yang dikirim Musa Ibnu Nushair. Thariq kembali sukses. Bukit-bukit di pantai tempat pendaratannya lalu dinamai Jabal Thariq, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar. Musa bahkan ikut menyeberang untuk memimpin sendiri pasukannya. Ia merebut wilayah Seville dan mengalahkan Penguasa Gothic, Theodomir. Musa dan Thariq lalu bahu-membahu menguasai seluruh wilayah Spanyol selatan itu. Pada 755 Masehi, Abdurrahman tiba di Spanyol. Abdurrahman ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa di Andalusia dengan gelar Amir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan “untuk mencari kematian” (martyrdom). Namun penguasa Bani Umayah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan tersebut. Sekadar kamu tahu, bahwa peperangan dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia bukan untuk memusnahkan. Itu sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai wilayah tidak bertujuan menjajahnya. Berbeda dengan ideologi Kapitalisme yang memang tujuan mereka berperang adalah untuk menguasai wilayah dan menjajahnya (baca: menguras seluruh potensi wilayah itu untuk kepentingan bangsanya). Sejarawan Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya, “Mereka (para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya, yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu pemerintahan Islam.” Hmm.. perlu dicatet tuh. Itulah yang terjadi sepanjang perjalanan sejarah masuknya Islam ke Spanyol. Islam, tak hanya masuk dengan damai, namun dengan cepat menyebar dan membangun peradaban tinggi hingga Spanyol mencapai puncak kejayaannya. Kota-kota terkemuka Spanyol seperti Andalusia dan Cordova, menjadi center of excellent peradaban dunia. Keren nggak? |
Sejarah Islam diAndalusiada
Selama delapan abad, Islam berjaya di bumi Eropa (Andalusia ), maka pada saatnya Islam yang pernah membangun peradaban yang cukup gemilang itu harus runtuh dan tersungkur di tanah Eropa. Peradaban Islam yang telah di bangun dengan suasah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin sendiri, dan karena kegigihan bangsa barat / Eropa untuk merebut dan meruntuhkan peradaban Islam.
Pusat kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus di bawah otoritas Bani Abbasiyah berakhir pada tahun 750 M. Pembantaian secara besar-besaran mewarnai perjalanan Bani Umayyah. Dalam pembantaian tersebut, Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abdul Malik berhasil lolos. Ia kemudian memasuki Andalusia pada tahun 755 M. Di kemudian hari, Abdurrahman mendapat julukan “Ad-Dakhil.” Abdurrahman Ad-Dakhil ini dikenal sebagai “Elang Quraisy.”
Sebelum memasuki Andalusia, Abdurrahman Ad-Dakhil mengutus ajudannya, Badar, untuk menemui para tokoh di kota tersebut. Usahanya berhasil mendapat sambutan positif dari para pembesar dan masyarakat kota Andalusia. Dalam waktu yang relatif singkat, kota tersebut dapat dikuasai oleh Abdurrahman Ad-Dakhil.
Sebelum kedatangan Abdurrahman Ad-Dakhil, terdapat konsolidasi penduduk oleh para amir untuk tetap membiarkan para imigran Muslim dari Timur. Seiring dengan kenyataan migrasi dan konsolidasi sebelum Ad-Dakhil masuk ke Andalusia, amir-amir (panglima atau gubernur) yang dahulu berafiliasi politik di bawah kekhalifahan Umayyah I (Damaskus), selanjutnya tidak lagi terikat oleh hegemoni politik sebelumnya, termasuk kepada kekhalifahan Abbasiyah (Baghdad). Tetapi, proses kepemimpinan dan penerapan hukum Islam berjalan dalam proses sejarah di bawah naungan amir-amir lokal (wali atau gubernur). Sekalipun para wali ini, secara de jure, mengakui kekhalifahan Abbasiyah, tetapi secara de facto tidak mengikatkan diri (melakukan bai’at) kepada kekhalifahan baru di Baghdad.
Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil menyingkirkan pangeran-pangeran kecil di kota tersebut. Kebijakannya pertama kali ialah meredam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, baik yang dihembuskan oleh Bani Abbasiyah ataupun dari suku-suku yang menginginkan untuk memisahkan diri.
Gerakan pemberontakan terjadi berawal dari pembagian wilayah Andalusia menjadi enam wilayah yang masing-masing disebut dengan al-Ameer. Pemberontak-pemberontak kecil di Andalusia seperti gerakan yang dipimpin oleh Amir bin Abdurrahman Al-Fihri pada tahun 759 M. Kemudian, Amir Al-Mughis Al-Yansyiby dari Afrika Utara dan gerakan Abbasiyah di kota Sevilla di bawah pimpinan Abdurrahman bin Junaid Al-Fihri. Kebijakan tersebut berlanjut sampai ke daerah barat dan utara untuk mempertahankan Andalusia dari serangan kerajaan Prancis yang dipimpin oleh Karl Agung.
Sejak 756 M dimulailah masa pengakuan dan kemenangan Ad-Dakhil atas amir-amir di sebagian Spanyol. Gerakan maju pasukan Ad-Dakhil kemudian diteruskan ke kota-kota Sevilla, Archidon, Sidonia, dan Moron de la Frontura. Sebagian besar para amir secara resmi menyatakan setia kepada Ad-Dakhil. Mereka melakukan bai’at, baik secara berjama’ah maupun secara individual, atas kepemimpinan baru Bani Umayyah ini.
Tanggal 15 Mei 756 M, Abdurrahman Ad-Dakhil memproklamirkan berdirinya Imarah Umayyah II di Andalusia. Sebelum Ad-Dakhil melakukan ini, ternyata ada beberapa gubernur di Andalusia, khususnya saat dipegang oleh Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihry dari suku Mudari, telah menjalin afiliasi politik dengan Bani Abbas di Baghdad, walaupun pada akhirnya ia melakukan bai’at terhadap Ad-Dakhil. Sehingga, secara resmi, dimulailah kekuasaan yang kedua dari Bani Umayyah sebagai negara yang berdiri sendiri, berdaulat lepas dari Abbasiyah di Baghdad.
Berpangkal dari terbentuknya Imarah Umayyah II oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, secara de facto Daulah Islamiyyah (khusunya di dunia Sunni), telah terpecah menjadi dua bagian besar; kepemimpinan pusat di Baghdad oleh Abbasiyah, dan di Andalusia oleh Bani Umayyah II. Sejak tahun 757 M, Abdurrahman Ad-Dakhil menyerukan kepada seluruh masyarakat Islam di Andalusia untuk tidak menyebutkan lagi nama-nama khalifah di Baghdad dalam setiap Khutbah Jum’at.
Tampaknya, mereka yang melakukan bai’at terhadap Ad-Dakhil terdiri dari tiga komunitas politik pada saat itu, yakni: pertama, para pendukung Ad-Dakhil sendiri; kedua, para penguasa daerah (amir) dan kepala-kepala suku yang telah ditaklukkan; ketiga, masyarakat umum di seluruh pelosok daerah.
Tunduknya amir-amir lokal kepada Ad-Dakhil tentunya telah diikuti oleh seluruh rakyatnya secara massif. Walaupun bai’at yang dilakukan rakyat tidak berbentuk pengakuan secara lisan, tetapi dengan cara diam dan tunduk. Mereka yang tidak melakukan reaksi menentang berarti dapat diartikan sebagai suatu kepatuhan kepada penguasa baru. Bai’at semacam ini disebut “bai’at sukuti”. Hal seperti ini yang dilakukan oleh penduduk Cordova, Toledo, Merida, Sevilla, Torrox, dan lain-lain.
Menurut sejarawan Philip K. Hitty, wilayah Islam di Andalusia pada masa Ad-Dakhil akhirnya, terbagi ke dalam lima propinsi (vice-royalty) yang diketuai oleh amir atau shahib. Andalusia merupakan pusat pemerintahannya. Pemerintahan Bani Umayah oleh Ad-Dakhil telah tegak berdiri sejajar dengan pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, sekalipun ia tidak menyebutkan dirinya sebagai khalifah. Andalusia tidak lagi sebagai provinsi dari dunia Islam Timur, tetapi, telah berubah menjadi sebuah negara yang berdaulat (memiliki pemimpin utama, penduduk, dan wilayah), bukan lagi sebuah provinsi. Istilah “amir” atau “imarah” untuk wilayah ini bukan lagi sebagai gubernur tetapi sudah mempunyai arti sebuah “kerajaan” atau dinasti.
Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan pembangun khalifah Umayah kedua yang beribu kota di Cordova. Salah satu warisan yang masih membekas sampai sekarang adalah perkembangan kebudayaan material yang dimulai dengan pembangunan di segala bidang. Ia mewariskan budaya yang tinggi terhadap kejayaan Andalusia sebagaimana yang dikatakan oleh Gustave Lo Bon bahwa pertumbuhan kebudayaan sejak Abdurrahman Ad-Dakhil menduduki singgasana, atau setelah pemisahan wilayah timur dengan diumumkannya kekuasaan di Cordova tahun 756 M.
Perkembangan kebudayaan material tersebut berwujud bangunan-bangunan megah di kota Cordova, seperti Masjid Jami’ seluas 170 meter dengan biaya 800.000 dinar. Masjid ini terbesar dan termegah melebihi ke-indahan masjid-masjid di timur dengan menara yang tingginya 40 dzira.’ Kubahnya sebelah dalam terbuat dari kayu yang diukir indah. Tiangnya berjumlah 1.093 yang dihiasi dengan batu marmer berwarna seperti catur. Di dalamnya terdapat 19 ruangan yang luas dan panjang dan terdapat 38 ruangan biasa.
Kota Cordova yang sangat strategis letaknya, dengan jalan-jalannya yang sangat luas, udaranya yang segar, sungainya yang besar, tanahnya yang subur, dijadikan sebagai ibu kota Andalusia oleh Abdurrahman Ad-Dakhil. Istananya dialiri air bersih dengan dibangunnya kilang dinding batu mengitari kota dan istana, serta sebuah taman didirikan di luar kota dengan nama al-Risafat. Taman tersebut dibangun menurut arsitek nenek moyang Damaskus. Di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan, buah-buahan, dan bunga-bungaan yang diekspor dari dunia timur.
Setiap hari, kota Cordova sibuk dengan produktivitas perusahaan. Semua kebutuhan hidup, mulai dari pakaian, perkakas rumah tangga, alat pertanian, persenjataan, dan lain-lain, dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang berdiri di ibu kota tersebut dan kota-kota besar sekitarnya.
Ibu kota Cordova mempunyai 13.000 alat tenun dan industri lainnya yang berproduksi di bidang kulit, di mana hasil dari produksi tersebut diekspor ke Maroko, dan dari sana dikirim ke Prancis dan Inggris. Pemeliharaan sutra dan wool yang banyak terdapat di Cordova, Malaga, dan Almeria, yang tadinya dimonopoli oleh Cina, berkembang pula di Andalusia. Di bidang pertanian, Abdurrahman mempunyai jasa besar dengan berhasilnya menciptakan integrasi nasional dari suku-suku yang semula berebut kekuasaan.
Pembangunan di berbagai bidang tersebut membawa kemakmuran yang berlipat ganda terhadap penduduk Andalusia, sehingga sumber keuangan negara meningkat hingga 6.245.000 dinar. Pendapatan negara tersebut kemudian digunakan antara lain: sepertiga untuk kepentingan angkatan bersenjata; sepertiga lagi digunakan untuk pekerjaan umum dan pembangunan; sepertiga yang lain untuk kas negara.
Sebelum kedatangan Abdurrahman Ad-Dakhil, terdapat konsolidasi penduduk oleh para amir untuk tetap membiarkan para imigran Muslim dari Timur. Seiring dengan kenyataan migrasi dan konsolidasi sebelum Ad-Dakhil masuk ke Andalusia, amir-amir (panglima atau gubernur) yang dahulu berafiliasi politik di bawah kekhalifahan Umayyah I (Damaskus), selanjutnya tidak lagi terikat oleh hegemoni politik sebelumnya, termasuk kepada kekhalifahan Abbasiyah (Baghdad). Tetapi, proses kepemimpinan dan penerapan hukum Islam berjalan dalam proses sejarah di bawah naungan amir-amir lokal (wali atau gubernur). Sekalipun para wali ini, secara de jure, mengakui kekhalifahan Abbasiyah, tetapi secara de facto tidak mengikatkan diri (melakukan bai’at) kepada kekhalifahan baru di Baghdad.
Abdurrahman Ad-Dakhil berhasil menyingkirkan pangeran-pangeran kecil di kota tersebut. Kebijakannya pertama kali ialah meredam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, baik yang dihembuskan oleh Bani Abbasiyah ataupun dari suku-suku yang menginginkan untuk memisahkan diri.
Gerakan pemberontakan terjadi berawal dari pembagian wilayah Andalusia menjadi enam wilayah yang masing-masing disebut dengan al-Ameer. Pemberontak-pemberontak kecil di Andalusia seperti gerakan yang dipimpin oleh Amir bin Abdurrahman Al-Fihri pada tahun 759 M. Kemudian, Amir Al-Mughis Al-Yansyiby dari Afrika Utara dan gerakan Abbasiyah di kota Sevilla di bawah pimpinan Abdurrahman bin Junaid Al-Fihri. Kebijakan tersebut berlanjut sampai ke daerah barat dan utara untuk mempertahankan Andalusia dari serangan kerajaan Prancis yang dipimpin oleh Karl Agung.
Sejak 756 M dimulailah masa pengakuan dan kemenangan Ad-Dakhil atas amir-amir di sebagian Spanyol. Gerakan maju pasukan Ad-Dakhil kemudian diteruskan ke kota-kota Sevilla, Archidon, Sidonia, dan Moron de la Frontura. Sebagian besar para amir secara resmi menyatakan setia kepada Ad-Dakhil. Mereka melakukan bai’at, baik secara berjama’ah maupun secara individual, atas kepemimpinan baru Bani Umayyah ini.
Tanggal 15 Mei 756 M, Abdurrahman Ad-Dakhil memproklamirkan berdirinya Imarah Umayyah II di Andalusia. Sebelum Ad-Dakhil melakukan ini, ternyata ada beberapa gubernur di Andalusia, khususnya saat dipegang oleh Yusuf bin Abdurrahman Al-Fihry dari suku Mudari, telah menjalin afiliasi politik dengan Bani Abbas di Baghdad, walaupun pada akhirnya ia melakukan bai’at terhadap Ad-Dakhil. Sehingga, secara resmi, dimulailah kekuasaan yang kedua dari Bani Umayyah sebagai negara yang berdiri sendiri, berdaulat lepas dari Abbasiyah di Baghdad.
Berpangkal dari terbentuknya Imarah Umayyah II oleh Abdurrahman Ad-Dakhil, secara de facto Daulah Islamiyyah (khusunya di dunia Sunni), telah terpecah menjadi dua bagian besar; kepemimpinan pusat di Baghdad oleh Abbasiyah, dan di Andalusia oleh Bani Umayyah II. Sejak tahun 757 M, Abdurrahman Ad-Dakhil menyerukan kepada seluruh masyarakat Islam di Andalusia untuk tidak menyebutkan lagi nama-nama khalifah di Baghdad dalam setiap Khutbah Jum’at.
Tampaknya, mereka yang melakukan bai’at terhadap Ad-Dakhil terdiri dari tiga komunitas politik pada saat itu, yakni: pertama, para pendukung Ad-Dakhil sendiri; kedua, para penguasa daerah (amir) dan kepala-kepala suku yang telah ditaklukkan; ketiga, masyarakat umum di seluruh pelosok daerah.
Tunduknya amir-amir lokal kepada Ad-Dakhil tentunya telah diikuti oleh seluruh rakyatnya secara massif. Walaupun bai’at yang dilakukan rakyat tidak berbentuk pengakuan secara lisan, tetapi dengan cara diam dan tunduk. Mereka yang tidak melakukan reaksi menentang berarti dapat diartikan sebagai suatu kepatuhan kepada penguasa baru. Bai’at semacam ini disebut “bai’at sukuti”. Hal seperti ini yang dilakukan oleh penduduk Cordova, Toledo, Merida, Sevilla, Torrox, dan lain-lain.
Menurut sejarawan Philip K. Hitty, wilayah Islam di Andalusia pada masa Ad-Dakhil akhirnya, terbagi ke dalam lima propinsi (vice-royalty) yang diketuai oleh amir atau shahib. Andalusia merupakan pusat pemerintahannya. Pemerintahan Bani Umayah oleh Ad-Dakhil telah tegak berdiri sejajar dengan pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, sekalipun ia tidak menyebutkan dirinya sebagai khalifah. Andalusia tidak lagi sebagai provinsi dari dunia Islam Timur, tetapi, telah berubah menjadi sebuah negara yang berdaulat (memiliki pemimpin utama, penduduk, dan wilayah), bukan lagi sebuah provinsi. Istilah “amir” atau “imarah” untuk wilayah ini bukan lagi sebagai gubernur tetapi sudah mempunyai arti sebuah “kerajaan” atau dinasti.
Abdurrahman Ad-Dakhil merupakan pembangun khalifah Umayah kedua yang beribu kota di Cordova. Salah satu warisan yang masih membekas sampai sekarang adalah perkembangan kebudayaan material yang dimulai dengan pembangunan di segala bidang. Ia mewariskan budaya yang tinggi terhadap kejayaan Andalusia sebagaimana yang dikatakan oleh Gustave Lo Bon bahwa pertumbuhan kebudayaan sejak Abdurrahman Ad-Dakhil menduduki singgasana, atau setelah pemisahan wilayah timur dengan diumumkannya kekuasaan di Cordova tahun 756 M.
Perkembangan kebudayaan material tersebut berwujud bangunan-bangunan megah di kota Cordova, seperti Masjid Jami’ seluas 170 meter dengan biaya 800.000 dinar. Masjid ini terbesar dan termegah melebihi ke-indahan masjid-masjid di timur dengan menara yang tingginya 40 dzira.’ Kubahnya sebelah dalam terbuat dari kayu yang diukir indah. Tiangnya berjumlah 1.093 yang dihiasi dengan batu marmer berwarna seperti catur. Di dalamnya terdapat 19 ruangan yang luas dan panjang dan terdapat 38 ruangan biasa.
Kota Cordova yang sangat strategis letaknya, dengan jalan-jalannya yang sangat luas, udaranya yang segar, sungainya yang besar, tanahnya yang subur, dijadikan sebagai ibu kota Andalusia oleh Abdurrahman Ad-Dakhil. Istananya dialiri air bersih dengan dibangunnya kilang dinding batu mengitari kota dan istana, serta sebuah taman didirikan di luar kota dengan nama al-Risafat. Taman tersebut dibangun menurut arsitek nenek moyang Damaskus. Di dalamnya terdapat berbagai macam pepohonan, buah-buahan, dan bunga-bungaan yang diekspor dari dunia timur.
Setiap hari, kota Cordova sibuk dengan produktivitas perusahaan. Semua kebutuhan hidup, mulai dari pakaian, perkakas rumah tangga, alat pertanian, persenjataan, dan lain-lain, dapat dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang berdiri di ibu kota tersebut dan kota-kota besar sekitarnya.
Ibu kota Cordova mempunyai 13.000 alat tenun dan industri lainnya yang berproduksi di bidang kulit, di mana hasil dari produksi tersebut diekspor ke Maroko, dan dari sana dikirim ke Prancis dan Inggris. Pemeliharaan sutra dan wool yang banyak terdapat di Cordova, Malaga, dan Almeria, yang tadinya dimonopoli oleh Cina, berkembang pula di Andalusia. Di bidang pertanian, Abdurrahman mempunyai jasa besar dengan berhasilnya menciptakan integrasi nasional dari suku-suku yang semula berebut kekuasaan.
Pembangunan di berbagai bidang tersebut membawa kemakmuran yang berlipat ganda terhadap penduduk Andalusia, sehingga sumber keuangan negara meningkat hingga 6.245.000 dinar. Pendapatan negara tersebut kemudian digunakan antara lain: sepertiga untuk kepentingan angkatan bersenjata; sepertiga lagi digunakan untuk pekerjaan umum dan pembangunan; sepertiga yang lain untuk kas negara.
A. PERKEMBANGAN ISLAM DI
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya Kerajaan Islam terakhir di sana , Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu :
1. Periode Pertama.
Periode pertama, berlangsung sekitar tahun 711 – 755 M. Periode ini, menghantarkan Andalusia menjadi sebuah provinsi yang tunduk kepada pemerintahan pusat di Damaskus. Pada tahap ini, stabilitas sosial politik dan ekonomi Andalusia belum sempurna, namun relatif aman dan tetap berkembang. Gangguan dan ancaman terhadap proses pembangunan negeri, masih datang silih berganti, baik datang dari luar maupun dari dalam. Pada tahap ini pula, peradaban dan kebudayaan Islam belum mencapai puncaknya, kecuali setelah datangnya Abdurrahman Al-Dakhil pada tahun 138 H / 755 M.
2. Periode Kedua.
Periode kedua, berlangsung sekitar tahun 755 – 912 M. Andalusia pada periode ini dipimpin oleh seorang wali (gubernur) yang menyatakan diri tidak tunduk kepada pemerintahan pusat yang berada di Baghdad . Orang pertama yang memimpin Andalusia yang berdaulat dan berdiri sendiri adalah Abdurrahman Al-Dakhil.
Pada masa ini, umat Islam mulai mengalami kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Maka peradaban Islam pun mulai tumbuh dan berkembang. Abdurrahman Al-Dakhil segera membangun Mesjid Cordova dan sekolah-sekolah di berbagai kota besar di Spanyol. Hikam I berjasa dalam membangun dan menegakkan hukum dan perundang-undangan, Hakam I dikenal sebagai reformis dan pembaharu, dan Abdurrahman Al-Aushat dikenal sebagai ilmuan dan filosof. Ilmu pengetahuan dan seni budaya pada masa ini, sudah mulai semarak berkembang dan menuju kepada kemajuan.
3. Periode Ketiga.
Pada periode ini, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa, baik di bidang ilmu pengetahuan maupun sosial budaya. Peride ini berlangsung sekitar tahun 912 – 1013 M. yang diawali dengan kepemimpinan Abdurrahman III dan diakhiri dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil, yang disebut Muluku Al-Thawaif.
Peradaban Islam di Eropa semakin tampak bersinar, sebab periode ini, banyak mengandung kemajuan yang cukup berarti. Abdurrahman III segera mendirikan pusat berkembangnya ilmu pengetahuan, yakni Universitas Cordova. Perpustakaan yang terdapat di Universitas itu, memiliki ribuan buku yang memuat berbagai ilmu pengetahuan. Apalagi setelah Hakam II memimpin Andalusia , umat Islam semakin merasakan betapa pesatnya ilmu pengetahuan berkembang, yang pada saatnya menghantarkan dan membentuk suatu peradaban Islam yang sempurna dan berkualitas tinggi.
4. Periode Keempat.
Peride keempat, berlangsung sekitar tahun 1013 – 1086 M. pada tahap ini Andalusia sebagai suatu kerajaan yang berdaulat yang utuh mengalami disintegrasi. Kota-kota besar di wilayah Andalusia , merasa kuat dan mampu mendirikan kerajaan sendiri. Periode ini merupakan awal kehancuran umat Islam di Andalusia, sebab mereka saling bertengkar dan berperang sesama Muslim untuk merebutkan wilayah kekuasaan.
Pertikaian intern itu, tentu saja terbaca oleh kaum Nasrani sebagai kelemahan bagi umat Islam. Mereka berusaha menyusun kekuatan untuk segera dapat menghancurkan umat Islam. Namun demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas intelektual pada masa ini masih tetap berjalan, meskipun tidak sehebat masa-masa sebelumnya.
5. Periode Kelima.
Periode kelima, berlangsung sekitar tahun 1086 – 1248 M. yang dipimpin oleh dua dinasti yang menonjol ketika itu, yaitu dinasti Murabithun (1086 – 1143 M) dan dinasti Muwahidun (1146 – 1253 M). Kedua dinasti ini sebenarnya berasal dari Afrika Utara, yang datang ke Andalusia atas undangan raja-raja Islam untuk membantu melawan serangan kaum Katolik Barat. Untuk beberapa dekade, serangan dan pertahanan kedua dinast itu cukup kuat, sehingga Islam masih tetap berkibar untuk sementara di tanah Spanyol. Namun akhirnya, kaum Katolik dengan pasukannya yang besar dan kuat dapat menghancurkan mereka, yang memaksa kedua pemimpin dinasti itu pindah kembali ke Afrika.
Kaum Katolik sejak tahun 1212 mengalami kemenangan yang luar biasa, sehingga kota-kota besar Islam satu-persatu jatuh ke tangan mereka. Kota Cordova jatuh ke tangan penguasa Katolik pada tahun 1238 M. sepuluh tahun kemudian menyusul kota Seville jatuh pada tahun 1248 M. Bahkan seluruh wilayah Andalusia jatuh ke tangan Katolik, kecuali Granada yang masih dikuasai Bani Ahmar.
6. Periode Keenam.
Periode keenam, berlangsung sekitar tahun 1248 – 1492 M.yang sebenarnya merupakan akhir dari kekuasaan Islam di tanah Spanyol. Namun demikian di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1252 – 1492 M) peradaban Islam mulai mengalami kemajuan yang cukup berarti. Namun kejayaan Islam itu tidak bertahan lama akibat konflik intern yang terjadi di kalangan istana.
Pangeran Abu Abdullah Muhammad tidak setuju atas keputusan ayahnya yang mengangkat adiknya sebagai putera mahkota. Dia melakukan perlawanan dengan meminta bantuan pasukan Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkan kekuasaan sang ayah, akhirnya ayahnya terbunuh dan adiknya naik tahta menjadi raja. Perlawanan terus dilakukan, dan adiknya pun terbunuh juga. Akhirnya ia pun naik tahta, namun segera dirongrong oleh penguasa Kristen yang pernah membantunya. Tak lama menduduki kerajaan, akhirnya Abu Abdullah Muhammad digulingkan oleh kedua penguasa Kristen, Ferdinand dan Isabella, pada tahun 1492 M. Maka sejak itulah, seakan lenyap dari bumi Andalusia.
B. KEMAJUAN PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA .
1. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Filsafat.
Ketika Islam berjaya di Andalusia , ilmu pengetahuan dan filsafat mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Ketika Islam lahir, sebagai agama pemersatu dan agama peradaban, bangsa Yunani sedang tenggelam dalam kekuasaan pemerintah yang kejam, sedang dunia Islam mulai menyingsingkan fajar kebebasan, terutama bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan oleh penguasa Muslim ketika itu, sehingga para ilmuwan dan filsof kenamaan banyak lahir di dunia Islam, seperti Ibnu Hazm dengan karyanya al-Milal wa al-Nihal, Abu bakr Muhamad Ibnu Al-Asyik (wafat 1138) yang dikenal Ibnu Bajah, Abu Bakar Ibnu Thufael (wafat 1185) yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “Hay bin Yaqdzan”, Ibnu Rusyd (1126 – 1198 M) yang dikenal dengan sebutan Averous, karyanya antara lain Tuhafut al-Tuhafut.
2. Bidang Geografi dan Sains.
Ilmuwan di bidang geografi lahirlah nama Ibnu Jubair, seorang pengarang buku berjudul “Perlawatan ke negeri-negeri Islam”, Abu Hamid Al-Hazim dan Abu Ubaid Al-Bakry.
Di bidang sains muncullah nama-nama yang ahli di bidang kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia, dan lain-lainnya misalnya Wafid Al-Bakhmi, Khalaf Al-Zahrawi, sebagai ahli di bidang kedokteran dan ilmu fa’al. Abu Qasim al-Zanrawi seorang dokter bedah yang mengarang buku Al-Tasrif setebal 30 jilid, Ibnu Khatimah ahli penyakit Malaria, Abbas Ibnu Farnas ahli Kimia dan Astronomi, ia adalah seorang ilmuwan pertama yang menemukan cara membuat kaca dari batu.
3. Bidang Sejarah dan Sosiologi.
Ilmu sejarah dan sosiologi juga berkembang pesat di Andalusia semasa pemerintahan Islam. Ahli sejarah dan sosiologi yang menjadi peletak dasar teori-teori sejarah dan sosiologi banyak bermunculan pada masa ini. Mereka antara lain; Ibnu Hazm dengan karyanya Jamharah al-Ahsab dan Rasail fi Fadl Ahlal Andalus, Ibnu Batutah (1304 – 1374) seorang sejarawan yangpernah berkunjung ke Indonesia dan Asia Tenggara, Ibnu Jubair dari Valencia (1145 – 1228 M) seorang ahli sejarah dan geografi yang menulis sejarah negeri-negeri muslim Mediterania dan Cicilia, Ibnu Khaldun dari Tunis, seorang ahli filsafat sejarah yang terkenal dengan bukunya Mukaddimah.
4. Bidang Agama dan Hukum Islam.
Bidang ilmu-ilmu Islam juga turut berkembang pesat di Andalusia, yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh yang berkompeten di bidang ini, antara lain Ibnu Rusyd yang terkenal dengan karyanya; Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayah al-Mukhtashid, dan Ibnu Hazm yang terkenal dengan karyanya; Al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, dan sebagainya.
5. Bidang Musik dan Kesenian.
Tokoh yang terkenal pada masa ini di bidang musik dan seni suara adalah Al-hasan bin Nafi’ yang dijuluki Zaryab, ia adalah seorang seniman yang terkenal di zamannya.
6. Bidang Bahasa dan Sastra.
Di bidang bahasa dan sastra, bahas Arab merupakan bahasa administrasi bagi pemerintahan Islam Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan muslim di negeri itu termasuk penduduk asli. Di antara tokoh yang terkenal pada masa itu adalah Ibn Malik pengarang kitab “Alfiyah”, Ibn Khuru, Ibn Al-Haj, dan sebagainya, sedangkan tokoh sastranya antara lain Ibn Abdi Rabah dengan bukunya Al-Iqd al-Farid, Ibn Basam dengan bukunya Al-Dzakirah fi Miahasin al-Jazirah, dan Al-Fath Ibn al-Haqan dengan karangannya Al-Qalaid.
7. Bidang Pembangunan Fisik.
Pemerintahan Islam di Andalusia juga mengembangkan dan membangun beberapa lembaga berikut sarana dan prasarananya, misalnya membangun tropong bintang di Cordova, membangun pasar dan jembatan, melakukan upaya pengendalian banjir dan penyimpanan air hujan, membangun sistem irigasi hidrolik dengan menggunakan roda air (water wheel), memperkenalkan tanaman padi dan jeruk, dan mendirikan pabrik-pabrik tekstil, kulit, logam, dan lainnya.
C. RUNTUHNYA KERAJAAN ANDALUSIA.
1. Lemahnya Kekuasaan Bani Umayyah II dan Bangkitnya Kerajaan-Kerajaan Kecil di Andalusia.
Menurut data sejarah, pada saat itu kerajaan Islam di Spanyol terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil. Sepeninggal dinasti Umayyah, kerajaan di Spanyol menjadi 20 wilayah kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan itu antara lain bani Ibad di Seville, bani Hamud di Malaga, bani Zirry di Granada, bani Hud di Saragosa, dan yang terkenal adalah bani Dzin Nun yang menguasai kota Toledo, Valensia, dan Marusa.
Raja-raja kecil ini sering berebut kekuasaan, yang satu menghantam yang lain, sehingga kekuatan mereka menjadi lemah, sedangkan pada saat yang sama, raja-raja Eropa bersatu. Raja Al-Fonso VI dan Leon mengadakan kerjasama dengan Australia, Castilia dan raja-raja lainnya. Mereka bersatu menghimpun kekuatan untuk menghancurkan kekuatan Islam di Spanyol. Kekuatan baru inilah yang dapat menaklukkan kota Granada pada tahun 898 H / 1492 M.
Dengan jatuhnya kota Granada, berakhirlah kekuasaan Islam Arab pada masa itu di Andalusia, setelah mereka menguasai negeri itu selama delapan abad.
2. Timbulnya Semangat Orang-Orang Eropa Untuk Menguasai Kembali Andalusia.
Kekuatan Islam berlangsung dalam waktu yang cukup lama, dan selama itu pula orang-orang Eropa mulai menyusun kekuatannya untuk menghancurkan Islam. Pada saat kekuasaan Islam mulai melemah, mereka segera menyusun kekuatan baru yang luar biasa. Serangan demi seranganpun dilancarkan terhadap kekuasaan Islam, tetapi pada mulanya masih dapat digagalkan.
Pada masa pemerintahan Bani Ahmar (1232- 1492), khususnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Al-Nasir, kekuatan umat Islam dapat dipulihkan kembali. Akan tetapi menjelang akhir hayatnya, ia mewariskan kekuasaan itu kepada adik kandungnya. Akibatnya Abu Abdullah Muhammad sebagai anaknya merasa kecewa, dan menuntut balas terhadap ayahnya. Dia mengadakan pemberontakan yang menewaskan sang ayah, tetapi kursi kerajaan tetap pada pamannya. Abu Abdullah kembali menyusun rencana pemberontakan dengan meminta bantuan penguasa Kristen Ferdinand dan Isabella. Permintaan itu dikabulkan dan pamannya tewas terbunuh. Setelah itu, segudang hadiah yang terdiri dari emas berlian, diserahkan kepada Ferdinand dan Isabella.
Tetapi para penguasa Kristen itu, tidak merasa puas dengan hadiah. Bahkan mereka ingin merebut kekuasaan Abu Abdullah dan mengenyahkan kekuasaan Islam dari tanah Spanyol. Rencana penyerangan pun disusun, dan pada saat pasukan Abu Abdullah dikepung selama beberapa hari, akhirnya Abu Abdullah menyerah tanpa syarat dan bersedia hengkang dari bumi Spanyol pada tahun 1492 M. Dengan demikian, tamatlah sudah riwayat perjuangan umat Islam di Andalusia. Pada saat yang bersamaan, penguasa Eropa Kristen dengan leluasa menancapkan kakinya di bumi Andalusia setelah selama delapan abad berada di tangan kaum Muslimin.
D. HANCURNYA PERADABAN ISLAM DI ANDALUSIA.
1. Hancurnya Kekuasaan Islam dan Rendahnya Semangat Para Ahli Dalam Menggali Budaya Islam.
Hancurnya kekuasaan Islam di Andalusia pada tahun 1492 M berdampak negatif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Para Ilmuwan dilanda kelesuan, mereka tidak semangat lagi menggali dan mengkaji ilmu pengetahuan. Mereka seakan berputus asa ketika melihat serangan yang bertubi-tubi dilancarkan kepada umat Islam, terutama lagi tindakan penguasa Kristen itu terhadap peradaban Islam. Mereka menyaksikan banyak pusat-pusat peradaban di hancurkan, bahkan para ilmuwan sendiri, tidak sedikit yang tewas di bunuh tentara Kristen di Spanyol. Peristiwa yang tragis dan sangat mengenaskan itu, amat membekas di lubuk hati para ilmuwan, sehingga mereka banyak yang lari menyelamatkan diri ke Afrika Utara.
Peristiwa pahit yang terjadi pada tahun 1492 M itu, membawa dampak psikologis bagi para ilmuwan muslim. Mereka tidak lagi mempunyai gairah untuk bangkit kembali dan memajukan peradaban Islam, melalui ide-ide cemerlang dan usaha kreatif mereka selama ini yang telah memberikan andil besar bagi kemajuan peradaban Islam. Dampak yang lebih jauh dari sikap para ilmuwan muslim yang demikian itu, adalah terjadinya kemandegan peradaban. Peradaban Islam mengalami masa-masa suram dan penurunan kualitas intelektual umat Islam. Akhirnya harapan dan keinginan umat Islam yang mendambakan agar bangkit kembali membangun peradaban Islam, yang pernah jaya di masa lalu tak pernah terwujud.
2. Banyaknya Orang-Orang Eropa Yang Menguasai Ilmu Pengetahuan Dari Islam.
Begitu besarnya perhatian para penguasa muslim dan para ilmuwannya terhadap ilmu pengetahuan maka mereka saling bekerja sama untuk memajukan bangsa dan negara. Banyak penelitian dan pengkajian dilakukan, lembaga-lembaga riset dibangun, Sekolah Tinggi dan Universitas didirikan. Di lembaga ini tidak hanya orang Islam yang diberi kesempatan mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi semua orang termasuk orang Kristen. Akibatnya banyak orang-orang Kristen Barat yang tertarik dan belaaajar di Universitas-Universitas Islam itu.
Karena tertarik oleh metode ilmiah Islam, banyak para pendeta Kristen yang menyatakan diri untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Contohnya seorang pendeta Roma, Italia bernama Roger Bacon ( 1214 – 1292 M.), ia datang ke Paris untuk belajar bahasa Arab antara tahun 1240 sampai 1268 M. Setelah mahir menguasai bahasa Arab, ia segera membaca dan menterjemahkan berbagai ilmu pengetahuan yang ditulis ilmuwan muslim dalam bahasa Arab. Ilmu yang menarik hatinya adalah ilmu pasti. Buku-buku yang asli berbahasa Arab dan hasil terjemahannya banyak di bawa ke Inggris. Lalu disimpan di Universitas Oxford. Hasil terjemahan Bacon itu, diterbitkan dan menggunakan namanya sendiri. Ia tidak menyebutkan nama-nama asli pengarang buku-buku itu, yang tak lain adalah ilmuwan-ilmuwan muslim. Di antara karangan yang diterjemahkannya dan tidak menyebutkan nama asli pengarangnya itu, adalah kitab Al Manadzir karya Ali Al-Hasan Ibnu Haitsam ( 965 – 1038 M ). Di dalam buku itu terdapat teori tentang mikroskop dan mesiu, kemudian buku itu disebut sebagai karya Roger Bacon.
Benteng terakhir itu bernama Granada
Sayangnya, masa pencerahan bagi seluruh dunia ini kemudian dikotori oleh para pemimpin Eropa yang bersepakat meninggalkan agama dalam segala aspek kehidupan dan mengembangkan dengan apa yang kemudian dikenal sebagai sekularisme. Akibatnya, keagungan peradaban Islam yang dibangun di Spanyol, berakhir dengan tragis. Yaitu saat penguasa kafir Eropa menghancurkan semua karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tak hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan.
Sayangnya, masa pencerahan bagi seluruh dunia ini kemudian dikotori oleh para pemimpin Eropa yang bersepakat meninggalkan agama dalam segala aspek kehidupan dan mengembangkan dengan apa yang kemudian dikenal sebagai sekularisme. Akibatnya, keagungan peradaban Islam yang dibangun di Spanyol, berakhir dengan tragis. Yaitu saat penguasa kafir Eropa menghancurkan semua karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tak hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan.
Ibnu Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca. Kitab-kitab karya Imam al-Ghazaly dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al-Ahkam II dihanyutkan ke sungai, Ibnu Tufayl dan Ibnu Rusyd disingkirkan. Nasib yang sama, dialami juga oleh Ibnu Arabi.
Kebijakan ‘bumi hangus’ itu menyebabkan sulit merekontruksi perjalanan sejarah Islam di Eropa. Namun demikian, keberadaan Granada, Cordova, Sevilla, dan Andalusia sebagai bukti keagungan peradaban Islam di Spanyol tak bisa dipungkiri. Meski akhirnya sirna juga dihancurkan Pasukan Salib Eropa.
Oya, petaka Perang Salib juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perpustakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, al-Quds, Ghazzah, Asqalan, dan kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka. Salah seorang sejarawan menaksir, buku-buku yang dimusnahkan tentara Salib Eropa di Tripoli sebanyak tiga juta buah.
Pendudukan Spanyol atas Andalusia juga telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perpustakaan besar yang diceritakan sejarah dengan mencengangkan. Semua buku dibakar oleh pemeluk-pemeluk agama yang fanatik. Bahkan buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada menurut taksiran sebagian sejarawan berjumlah satu juta buku. (Dr. Mustafa as-Siba’i, Peradaban Islam; Dulu, Kini dan Esok, hlm. 187)
Granada tinggal kenangan, sejak berkecamuknya Perang Salib. Tepat pada 2 Januari 1492, Sultan Islam di Granada, Abu Abdullah, untuk terakhir kalinya terlihat di Istana al-Hamra. Granada jatuh ke tangan kaum kafir Eropa. Semua merasa kehilangan (apalagi kalo kita mengenal Spanyol sebatas klub sepakbola Real Madrid atau Barcelona. Menyedihkan!).
Sekadar tahu aja bahwa Granada, kota yang terletak di selatan kota Madrid, ibukota Spanyol sekarang, adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam yang agung dan tergolong dalam kawasan lainnya yang tak kalah menarik dan bersejarah setelah Andalusia, Cordova, Balansiah, Bahrit, Ichiliah, Tolaitalah dan yang lainnya. Granada juga masyhur sebagai kiblat yang menjadi tumpuan harapan para pelajar yang datang dari segenap kawasan yang berada di sekitar Granada, baik kaum muslimin maupun nonMuslim. Pusat pengkajian yang masyhur di Granada adalah al-Yusufiah dan an-Nashriyyah.
Sekadar tahu aja bahwa Granada, kota yang terletak di selatan kota Madrid, ibukota Spanyol sekarang, adalah salah satu pusat ilmu pengetahuan Islam yang agung dan tergolong dalam kawasan lainnya yang tak kalah menarik dan bersejarah setelah Andalusia, Cordova, Balansiah, Bahrit, Ichiliah, Tolaitalah dan yang lainnya. Granada juga masyhur sebagai kiblat yang menjadi tumpuan harapan para pelajar yang datang dari segenap kawasan yang berada di sekitar Granada, baik kaum muslimin maupun nonMuslim. Pusat pengkajian yang masyhur di Granada adalah al-Yusufiah dan an-Nashriyyah.
Di sini, juga telah melahirkan banyak ilmuwan muslim yang terkenal. Di antaranya Abu al-Qasim al-Majrithi sebagai pencetus kebangkitan ilmu astronomi Andalusia pada tahun 398 Hijriah atau sekitar tahun 1008 Masehi. Beliau telah memberikan dasar bagi salah satu pusat pengkajian ilmu matematika yang masyhur. Selain beliau, Granada juga masih memiliki sejumlah ilmuwan dan ulama terkenal, di antaranya adalah al-Imam as-Syatibi, Lisanuddin al-Khatib, as-Sarqasti, Ibnu Zamrak, Muhammad Ibnu ar-Riqah, Abu Yahya Ibnu Ridwan, Abu Abdullah al-Fahham, Ibnu as-Sarah, Yahya Ibnu al-Huzail at-Tajiibi, as-Shaqurmi dan Ibnu Zuhri. Di kalangan perempuan tercatat nama-nama seperti Hafsah binti al-Haj, Hamdunah binti Ziad dan saudaranya, Zainab.
Amat wajar dong kalo ilmuwan sekelas Emmanuel Deutch berkomentar, “Semua ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah jika kami selalu mencucurkan airmata manakala kami teringat saat-saat terakhir jatuhnya Granada.” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, hlm. 100)
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan Islam di Spanyol, umat Islam telah mencapai kejayaannya disana . Banyak prestasi yang mereka peroleh, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks.
Tapi pada abad ke – 10 M dunia Islam mulai menampakkan tanda-tanda kemunduran, begitu juga peradabannya. Kemunduran itu terjadi setapak demi setapak, sehingga pada pertengahan abad ke – 12 M, tibalah saatnya masa keruntuhan Islam.
Granada adalah benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia (Spanyol) yang jatuh ke tangan bangsa Eropa yang kafir. Semoga Islam kembali memimpin dunia. Mencerahkan dan menjadi “rahmatan lil ‘alamin”. Yup, Islam yang memberikan masa depan dunia dengan lebih cerah. Jadi, yuk berjuang untuk membela Islam dan menegakkannya dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Tunggu apalagi sobat? Ayo, berjuang sekarang juga!
Granada adalah benteng terakhir kaum muslimin di Andalusia (Spanyol) yang jatuh ke tangan bangsa Eropa yang kafir. Semoga Islam kembali memimpin dunia. Mencerahkan dan menjadi “rahmatan lil ‘alamin”. Yup, Islam yang memberikan masa depan dunia dengan lebih cerah. Jadi, yuk berjuang untuk membela Islam dan menegakkannya dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Tunggu apalagi sobat? Ayo, berjuang sekarang juga!
nah mungkin baru itu aja yang dapat kami tulis disini, mohon dikasih masukan yaaa!!!!!!!!
moga manfaat dunia akhirat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar