Jumat, 25 Februari 2011

Nyanyian Hati

Setiap waktu pencarian terus bergulir, bagai rintik hujan sepi malam. Kuterlahir dengan pengertian. Pengertian yang mengerti bahwa arti dari pengertian tak ku mengerti, hingga kini dan mungkin esok hari.

Bila tiada hati yang terbuka tuk mau mengerti kejujuran nurani, tantang arti dari pengertian ini, mungkinkah dua kejujuran nurani kan mampu mendamaikan hati?

Aku ragu!

Saat satu kejujuran dari dirimu begitu hangat dan mungkin atau pasti sejuk, seharusnya. Tapi satu kejujuan lain membusuk dalam remuk hancur seperti pesakitan tak kunjung bertandang pergi.

Lalu seperti itukah paradox bernama kejujuran ? Atau seharusnya kubohongi kejujuran hati kecil agar kejujuranmu tetap sebagai ketenanganmu, tetapi ? Apakah mungkin bila kubohongi hatiku, aku kan damai pula dirimu?

Sepertinya agar tiada luka yang terus menjelma sebagai dogma kekuatan jiwa, maka seharusnya kita bicara di musim semi dari hati kehati, atau apakah kau kan terus memilih dua kejujuran terus membuat luka-luka baru hingga tubuh dan jiwa kita di penuhi luka yang takkan terseka, dan membusuk ?

Seperti saat kata pertama, aku takjub! Itulah kejujuran, tapi senantiasakah baasmu pasti kejujuran atau kebohongan yang membuat aku berharga?

Lalu pengertianku dari semua ucapmu yang kuyakini ketika kau memberiku Kristal batu rubi adalah kejujuran, apakah sejujurnya kebohongan? Dan ketika aku berkata bahwa, “Aku jujur dari hatiku” adalah kejujuran? Apa mungkin kata “Jujur” hanyalah sebagai perlambang tuk meyakinkan hati diantara dua keyakinan?

Tapi mengapa selalu ada yang merasa terpaksa tuk jujur? Atau haruskah kita sedikit membohongi diri agar kejujuran disalah satu hati kita tidak terlalu menyesakkan dada. Atau…? Aku harus berbohong untuk diriku agar kejujuran dilangitmu tak terbalas rengsa pedih, atau …? Selayaknya kau bohongi dirimu? Tapi tak mungkin, kita tak mungkin berbohong untuk di kita sendiri,

Tapi mungkin saja!

Apa benar?

Kalau kita saling berbohong, aku yakin kita tak pernah damaikan hati.

Lalu…?

Apakah kita harus selalu jujur??

Entahlah!

Kalau kita jujur, kita hancur karena pesakitan dari kejujuran sebrang.

Lalu bagaimana??

Mungkin kita kan berbohong sedetik waktu sampai ada hati yang tak pernah luka.

Mungkin kita kan berbohong sejenak hingga kita mengulum cita.

Mungkin kita kan berbohong sesaat sampai tiada kepedihan.

Mungkin kita kan berbohong sementara, sampai waktu member penyadaran untuk kebohongan kita, setidaknya sesaat penat, karena meninggalkan jujurku dan jujurmu.

Tapi…?

Jangan kau tanyakan! Bagaimana, atau dimana, dan mengapa, apalagi apa pengungkapan kejujuran hati ini,

Sampai kau mengerti.

Seperti inilah jiwa dalam dada

Seperti inilah jiwa yang luka

Seperti inilah jiwa yang bahagia

Sampai kau pahami.

Inilah jiwa yang tercipta

Inilah jiwa yang tertera

Dan inilah jiwa-jiwa yang patah sayapnya.

Sehingga kau dan kita, semua terlebih aku, yang berpeluk pilu tiada pernah ragu mengungkap kejujuran hati, dan berbalas kejujuran hati tanpa kepedihan-kejujuran yang mendaam-kejujuran yang menentramkan-kejujuran yang melelapkan-kejujuran yang membawa kepada mi’raj keharibaan kata hati-kejujuran lakana sinar putih diufuk tertinggi dari rasa tulus,

Bagai buih anugrah yang mengembang memenuhi jiw-jiwa dengan putih biasan mentari berkeratap.

Dan juga,

Tetapi,

Bahkan,

Atau,

Mungkin,

Jangan sekali-kali kau tanyakan keabadian pegungkapan kata hati, kekekalan sinar putih tertinggi, kedamaian yang berpusara.

Apalagi tentang cintaku. Tentang kejujuran dilepas lautan hati, tentang kematian hati, tentang harapan.

Karena seperti apapun wujudnya, DIA tlah … atau… mungki akan… dan pernah… bahkan tetap menjadi bagian atau sepenuhnya dalam diri, seutuhnya dalam arti hakiki.

Dan diam adalah diam dalam ironis kejujuran.

Kejujuran adalah api kearifan

Amarah adalah aura suci yang terbakar

Tapi hati adalah hati

Tak pernah mampu bohongi nurani

Tak membohongi cinta ini.


22.21

14-10-09

Tidak ada komentar: